Perkembangan Tafsir di Nusantara



Perkembangan penafsiran di Nusantara agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al-Quran dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Quran. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Bahasa Arab adalah bahasa mereka, karena itu mereka tidak mengalami kesulitan utnuk memahami bahsa al-Quran sehingga proses penafsiran juga cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang tidak berbasa Arab. Karena itu proses pemahaman al-Quran terlebih dahulu dimulai dengan terjemahan al-Quran kedalam bahasa Indonesia.[1] Kemudian baru diberikan penafsiran yang luas dan rinci. Jadi, tafsir al-Quran di Indonesia melalui proses lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya (Timur Tengah).[2]

Berdasarkan kondisi yang demikian tafsir al-Quran di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode. Pertama periode klasik, kedua periode pertengahan, ketiga periode pramodern, dan keempat periode modern sampai sekarang. Penetapan keempat periode perkembangan tafsir al-Quran itu didasarkan pada ciri-ciri tafsir yang terdapat di Indonesia. Oleh karena itu, periode-periode tersebut berbeda secara mencolok dari periode perkembangan tafsir yang terjadi di Timur Tengah (dunia Arab) pada umumnya.[3]

a.      Periode Klasik
            Abad klasik dimulai sejak permulaan Islam sampai ke Indonesia sekitar abad pertama dan kedua hijriah dan berlansung sampai abad ke-10 H. Prnafsiran yang terjadi selama kurun waktu 9 abad ini disebut periode klasik karena merupakan cikal bakal bagi perkembangan tafsir pada masa-masa sesuadahnya.[4]

Pada periode ini para guru mengajarkan tafsir sesuai dengan tingkatan kelasnya. Pada tingkat awal, murid diajarkan kitab tafsir berbahasa Arab yaitu kitab Tafsir jalalayn yang dikarang oleh Jalaluddin Mahali (w. 1459) dan Jalaluddin as-Suyuti (w. 1505). Selain itu dikelas yang lebih tinggi diajarkan kitab Tafsir al-Baidhawi dan Tafsir al-Manar. Umumnya para pengajar al-Quran pada masa ini diajarkan oleh guru laki-laki. Namun, ada juga  beberapa guru dari wanita yang mengajarkan pengajian untuk perempuan.[5]

Pengajian ini diberikan secara individual di rumah guru, langgar, surau. Dan juga metode penafsiran pada abad ini belum menunjukkan kepada  metode ra’yu dan ma’tsur. Dikerenakan mereka baru masuk Islam dan tidak menafsirkan dengan cara tertentu dan corak tertentu. Ulama menafsirkan ayat sebatas aqidah, teologi dan muamalah. Dengan kata lain, ulama menafsirkan sebatas ilmu fiqh.[6]

Jika diamati dengan seksama bentuk tafsiral-Quran pada masa ini lebih tepat disebut bibit tafsir yang tumbuh dan berkembang pada masa selanjutnya. Dengan demikian tidak dapat dikatakan mengacu kepada salah satu dari dua bentuk tafsir yang ada. Akan tetapi, para ahli tetap memberi istilah terhadap tafsir yang dikerjakan oleh para ulama periode ini yaitu tafsir dengan bentuk ‘embriotik integral’. Artinya, tafsir al-Quran diberikan secara integral bersamaan dengan bidang lain seperti fikih, teologi, dan tasawuf. Semua itu disajikan secara praktis yakni dalam bentuk pengamalan sehari-hari, tidak dalam kajian teoritis konseptual.[7]

Pada periode ini al-Quran ditafsirkan oleh para ulama dengan memakai metode ijmali. Meskipun belum sepenuhnya memakai metode tersebut, sebab proses penafsiran dilakukan dengan sangat sederhana. Tafsir tersebut bersamaan dengan dengan penjelasan tentang berbagai subjek bahasan seperti halnya ayat-ayat mengenai teologi yang ditafsirkan ketika mengajarkan aqidah, ayat-ayat yang berbicara tentang zakat, shalat, puasa, haji, dan sebagainya ditafsirkan pada saat mengajarkan subjek tersebut, begitu juga dengan ayat-ayat yang menyangkut hal muamalah.[8]
Dari penjelasan di atas, jelas terlihat bahwasanya tafsir pada masa ini bersifat praktis dan kondisional, di mana penafsirannya diberikan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sangat membantu mereka yang masih buta huruf sehingga  hanya mengandalkan kekuatan daya ingatan dalam proses internalisasi ajaran dan nilai. Ulama pada periode ini berhasil menerapkan metode tafsir yang sangat tepat, Karena sesuai dengan kondisi umat saat itu. Ini berarti para ulama sangat memahami kebutuhan masyarakat sekaligus menunjukkan bahwa menguasai metodelogi tafsir. Di samping itu, apa yang dilakukan sejalan dengan hadist Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menganjurkan berbicara kepada umat sesuai dengan tingkat kemampuan mereka.

Tafsir yang terdapat pada masa ini meski belum tertulis dan belum mengacu pada bentuk yang baku, tetapi dari segi coraknya dapat dikatakan bersifat umum. Artinya, penafsiran yang diberikan tidak didominasi oleh sesuatu warna atau pemikiran tertentu., tetapi menerangkat ayat-ayat yang dibutuhkan secara umum. Cara ini menjadikan penafsiran al-Quran umum dan proposional. Hal ini sejalan dengan tujuan untuk menyampaikan al-Quran secara khusus. Tetapi yang menjadi tujuan utama mereka adalah menyampaikan ajaran Islam secara utuh dalam satu paket, baik tafsir, fiqih,maupun tasawuf.[9]

Pada abad ke-16, proses penulisan tafsir telah muncul di Nusantara. Hal ini ditemukan naskah tafsir surah al-Kahfi ayat sembilan. Tafsir ini ditulis secara parsial berdasarkan surah tertentu dan tidak diketahui penulisnya. Manuskrip naskah itu dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dar Belanda, Erpinus (w. 1624), pada awal abad ke-17. Pada saat itu, manuskrip itu menjadi koleksi Cambridge University Library dengan katalog MS OR.Li.6.45 diperkirakan manuskrip ini dibuat pada masa awal pemerintahan sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).[10]

Tafsir Surat al-Kahfi tersebut, dilihat dari corak atau nuansa tafsir, sangat kental dengan nuansa atau warna sufistik. Hal ini mencerminkan bahwa penulisnya adalah orang yang mempunyai pandangan spiritual yang tinggi. Diduga, penulisnya adalah seorang pengikut salah satu tarekat yang mapan pada saat itu di Aceh, yaitu tarekat Qadiriyah. Rujukan utama tafsir surat al-Kahfi ini adalah ulasan al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil. Dengan demikian, dalam hubnungannya dengan aktivitas keislaman di Asia Tenggara, ulasan Baghawi tersebut sangat penting.[11]

b.      Periode Pertengahan
Penafsiran pada masa ini tidak sama dengan penafsiran al-Quran pada periode klasik. Periode ini tidak lagi mengandalkan ingatan dalam menafsirkan al-Quran.[12] Tetapi pengkajian al-Quran pada masa ini sudah mulai diperkenalkan dengan kitab-kitab tafsir yang lansung dibawa dari Arab kemudian dibacakan kepada murid-murid kitab tafsir al-Jalalainu. Kitab-kitab tafsir yang dibawa atau di datangkan tersebut oleh para guru di bacakan kepada murid-murid mereka, lalu di terjemahkan ke dalam bahasa murid (Melayu, Jawa dan sebagainya).

            Penafsiran pada metode ini dilakukan selama 3 abad. Penafsiran ini sesuai dengan corak tafsir yang ada dalam kitab yang dibacakan tersebut. Sehingga para guru tidak lagi melakukan pengembangan pemahaman terhadap ayat-ayat, melainkan sebatas yang mereka pahami dari penafsiran yang telah diberikan dalam kitab tersebut. Tafsir pada masa ini juga lebih berkembang dan lebih ilmiah karena tidak didasarkan pada kekuatan ingatan semata dan juga sudah memiliki buku pegangan dari ahli tafsir pada masa itu.[13]

c.    Periode Pra-Modern
Pada abad pra-modern, perkembangan tafsir di Indonesia tidak mengalami perkembangan. Tidak ada satu pun penulisan tafsir, tetapi hanya ada pengkajian al-Quran melalui majelis-majelis yang ada di masjid, surau ataupun rumah-rumah, itupun dalam jumlah yang sangat terbatas.

Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya karena indonesia mengalami cekraman pemerintahan Hindia Belanda. Dengan begitu, para ulama lebih konsentrasi terhadap perjuangan rakyat.

Pada abad ini hanya ditulis tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil yang ditulis oleh Syakh Muhammad Nawawi, tafsir ini beliau tulis di Mekkah. Proses penulisan pertama kali dimulai pada tahun 1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul al-Awal 1305 H (1884 M), berlansung selama 15 tahunan.[14]

d.      Periode Modern
Dalam perkembangan tafsir di Indonesia pada abad ke-20, atau disebut juga dengan periode modern. Karena pada abad ini memberikan kontribusi yang cukup menggembirakan dalam upaya penafsiran al-Quran, jika di bandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Sistem pembelajaran tafsir pada periode ini juga tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya, namum untuk memudahkan dan dapat mengetahui perkembangan tafsir secara tematis, periode ini dibagi menajadi tiga periode, pertama, mulai dari tahun 1900 sampai 1950, yaitu tahun pertama Indonesia kemerdekaan Indonesia dari penjajah (Belanda dan Jepang). Kedua mulai dari tahun1951 sampai tahun 1980. Ketiga, dari tahun 1981 sampai tahun 2000.[15]

Pada masa kurun waktu pertama ini, sistem pembelajaran tafsir sudah mengacu kepada sistem klasikal yang awalnya masih dalam bentuk halaqah. Sistem yang berbentuk klasikal yaitu mahasiswa dikelompokkan ke dalam kelas-kelas sesuai dengan tingkatan masing-masing, ada yang berada ditingkat permulaan, menengah, dan tingkat atas. Namun, pada pembelajaran tafsir al-Quran pada umumnya diberikan pada tingkatan menegah ke atas.[16]

Memasuki kurun waktu yang kedua pada periode modern ini, perkembang tafsir terlihat menuju kondisi yang lebih baik dan lebih merespon tantangan zaman. Tanda-tanda itu terlihat pada beberapa fenomena. Seperti bangsa Indonesia telah terbebas dari tekanan penjajaan yang telah memporak-porandakan kehidupan bangsa selama lebih kurang tiga setengah abad. Kemudian pada tahun 1950 pemerintah Indonesia mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pertama kali di yogyakarta. Dan perkemabngan intelektual semakin membaik, terbukti dengan semakin sedikitnya masyarakat yang buta huruf.[17]

Dengan adanya faktor-faktor demikian, kemungkinan tafsir-tafsir al-Quran dapat berkembang semakin besar. Dengan didirikan perguruan tinggi Islam, masyarakat semakin termotivasi  agar ada perguruan tinggi lain yang didirikan selanjutnya, dan dalam kurun waktu ini, sistem pembelajaran tafsirnya juga semakin membaik dan masih tetap sama dengan kurun waktu sebelumnya.[18]
Pada kurun waktu ketiga sama halnya dengan sebelumnya, namun ada ciri khas khusus yang diajarkan kepada mahasiswa program pasca sarjanaa. Mereka sudah dituntut agar mengembangkan kreativitasnya melauli nalah atau daya pikir masing-masing. Untuk mencapai maksud tersebut, dalam program ini perkuliahan di dominasi dengan diskusi-diskusi ilmiah dalam memudahkan berbagai persoalan yang diangkat.[19]

Pengajaran tafsir pada periode ini untuk tingkat perguruan tinggi pada umumnya tidak lagi membaca kitab tafsir tertentu. Mereka mulai mengembangkan bentuk tanya jawab, diskusi atau dialog yang dipimpin oleh dosen. Mahasiswa di minta membuat makalah kemudian disajikan dimuka kelah sesuai topik yang telah ditetapkan. Metode ini belum pernah muncul sebelumnya. Oleh karena itu, mahasiswa harus banyak menelaah buku rujukan atau referensi yang berhubungan dengan topik yang dibahas. Jadi, pada masa ini berkembang tiga metode pengajaran tafsir, yaitu ceramah, diskusi,dan dialog.[20]

Pada periode ini karya tafsir di Indonesia banyak mengarah kepada tafsir tematik. Hal ini banyak dipelopori oleh Qurays Shihab, yang banyak menghasilkan beberapa buku tafsir tematik seperti membumikan al-Quran, Lentera Hati, dan Wawasan al-Quran. Kecenderungan ini kemudian diikuti oleh para penulis yang lain dan makin disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi Islam.[21]



[1] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal. 51
[2] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia, (Solo: Tiga Seraikai Pustaka Mandiri, 2003), hal. 31
[3] Nashruddin Baidan, Perkembangan..., hal. 31-32
[4] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal. 59
[5] Pengkaji Tafsir Fakultas Ushuluddin, Perkembangan Tafsir Aceh, (Banda Aceh:____, 2016), hal. 11
[6] Pengkaji Tafsir Fakultas Ushuluddin, Perkembangan..., hal. 11
[7] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal. 60
[8] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara..., 66
[9] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal. 61
[10] Pengkaji Tafsir Fakultas Ushuluddin, Perkembangan..., hal. 11-12
[11]Nur Huda, Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), (yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007), hal. 346
[12] Nashruddin Baidan, Perkembangan..., hal. 38
[13] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal. 67
[14] Taufikurrahman, Jurnal, Keilmuan Tafsir Hadis, Volume 2, Nomor 1, juni 2012. Hal. 10
[15] Nashruddin Baidan, Perkembangan..., hal. 81
[16] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal. 70
[17] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal. 70-71
[18] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal. 71
[19] Nashruddin Baidan, Perkembangan..., hal. 108
[20] Fauzi, Tafsir Aceh..., hal, 71
[21] Taufikurrahman, Jurnal, Keilmuan Tafsir Hadis, Volume 2, Nomor 1, juni 2012. Hal. 4

CONVERSATION

1 comments:

Back
to top