Awal Pembelajaran al-Quran Di Indonesia


Secaraa historis, tradisi keilmuan Islam di Indonesia telah terbangun cukup lama. Ini bisa dilihat dari mata rantai intelektual Muslim yang terbangun secara sinergis dan cukup lama dengan beberapa ulama di Tmur Tengah. Dalam jaringan intelektual yang kuat itu, pergumulan umat Islam Indonesia dengan al-Qura menjadi demikian intens. Al-Quran yang menjadi sumber rujukan dalam berislam diuraikan maknanya dan ditafsirkan, lalu disebarluaskan ajaran-ajarannya kepada masyarakat.[1]

Sejak pertama Islam masuk ke Aceh tahun 1290 M, pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai. Waktu itu, banyak ulama yang mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplam, Teungku di Geureudong, dan lain-lain. Pada zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh, awal abad ke-17 M, surau-surau di aceh mengalami kemajuan. Muncul banyak ualam terkenal ketika itu, seperti , Ahmad Khatib Langin, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf as-Singkili, dan Burhanuddin.[2]

Bersamaa dengan proses awal masuklnya Islam di Nusantara tersebut, kita suci al-Quran diperkenalkan para juru dakwah itu kepad penduduk pribumi di Nusantara, Pengenalan awal terhadap al-Quran itu, abgi penyebar Islam tentu suatu hal yang penting karena al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup bagi orang yang telah memeluk Islam. Adlah tidak bisa ditolak, keharusan memahami isi kitab suci al-Quran bila ingin menjadi Muslim yang baik.[3]

Analisis Mahmud Yunus tentang sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia memperlihatkan bagaimana al-Quran telah diperkenalkan pada setiap muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajian al-Quran” di surau, langgar, dan masjid. Yunus mengklaim bahwa pendidikan al-Quran waktu itu adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak didik, sebelum memperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (fiqh).[4]

Pendidikan Surau terdiri dari dua tingkat, yaitu: pertma, pengajian al-Quran dan kedua, pengajian kitab. Kedua bentuk sistem ini juga diterapkan hampir di seluruh  lembaga pendidikan di Indonesia.[5]

Snouck Hurgronje dalam gambaran lain merekam cara pengajran dalam pengajian al-Quran:
Anak-anak berkumpul disalah satu langgar atau serambi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci di depan guru satu persatu di bawah bimbingannya, selama ¼ atau ½ jam, Ketika salah seorang murid menghadapa guru, murid lainnya dengan suara keras mengulang  kajian kemarin dan lanjutan pelajaran yang telah diperbaiki gurunya. Jadi, dalam langgar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam suara yang mencampur aduk menjadi satu. Tetapi, karena semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak terganggu dengan suara murid yang lain.[6]

Pada umumnya ,pengajaran al-Quran ini diberikan oleh guru laki-laki, namun ada juga beberapa orang guru perempuan, terutama memberikan pengajian pada para gadis, dan kadang juga memberikan pengajian pada anak laki-laki yang belum mencapai usia dewasa. Pengajian ini diberikan secara individual di rumah guru, langgar atau surau. Setelah menamatkan dalam pengajian al-Quran, para murid kemudian melanjutkan ke pengajian kitab, yang mengkaji beberapa kitab dari berbagai disiplin ilmu. Dalam pengkajian kitab inilah, al-Quran diperkenalkan dengan lebih mendalam, melalui kajian kitab tafsir al-Quran.[7]

Di Sumatra, terutama Aceh, pengajian al-Quran terjadi cukup meyakinkan. Merujuk pada naskah-naskah yang ditulis ulama Aceh, dapat kita lihat bahwa pada abad ke-16 M telah muncul upaya penafsiran al-Quran. Naskah Tafsir Surah al-Kahfi yang tidak diketahui penulisnya yang diduga ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).[8]

Di Jawa, penyebarab Islam yang dilakukan oleh Wali songo, juga tak terpisah dari upaya pengajran al-Quran. Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Ampel Denta misalnya, mendirikan pesantren Ampel, dan Raden Fatah-putra Brawijaya yang pernah nyantri di pesantren Ampel Denta-mendirikan pesantren di hutan Glagah Arum, pada tahun 1475 M. Namun tida, jauh sebelumnya, tak ada data memadai untuk menjelaskan proses pengajran al-Quran dipesantren yang didirikan oleh Sunan Ampel dan Raden Fatah ini.[9]

Lepas dari perdebatan dengan asal usul pertama  pesantren, jauh sebelumnya, nyata proses pengajran al-Quran sudah terjadi, tanpa harus tergantung dengan adanya lembaga pesantren. Ini mirip terjadi di Sumtra dan Aceh. Sebab pengajran al-Quran bisa saja dilakukan di rumah sang guru atau di masjid. Sejak proses islamisasi yang digerakkan oleh para Wali Songo dan berdirinya kerajaan Demak, sekitar tahun 1500 M, tentunya pengajran al-Quran semakin semarak, meskipun dilakukan dengan sederhana.[10]

Pengajaran al-Quran semakin nyata pada abad-abad selanjutnya. Mengutip Brumund, Zamakhsyari menjelaskan bahwa pada 1847, meski sistem pendidikan di Indonesia belum memiliki sebutan tertentu, pengajran al-Quran pada masa itu berlansung di tempat yang biasa disebut nggon ngaji. Pada 1831 M, pemerintah Belanda pernah mencatat, setidaknya ada 1.853 nggon ngaji dengan jumlah murid 16.556 murid tersebar di berbagai kabupaten yang didominasi pemeluk Islam di Jawa. Munculnya pesantren di Jawa secara meyakinkan dan lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, meyebabkan  pengajran al-Quran semakin menemukan momentumnya, selain memberikan pengenalan awal terhadap al-Quran-meliputi membaca al-Quran sesuai kaidah tajwid, juga mengkaji kandungan al-Quran bagi para santri-santri yang telah memenuhi syarat. Kitab yang menjadi acuan, pada masa-masa awal, umumnya adalah Tafsir Jalalayn karya Jalaluddin Mahali dan Jalaluddin as-Suyuti.[11]



[1] Nur Huda, Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), (yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007), hal. 343
[2] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara, (Yogjakarta: LkiS Yogyakarta, 2013), hal. 17
[3] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara,,, hal. 16
[4] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara,,, hal. 18
[5] Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam Di Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 77
[6] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara..., hal. 18
[7] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara..., hal. 18-19

[8] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara...,  hal. 19

[9] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara...,  hal. 20-21
[10] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara..., hal. 22
[11] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara..., hal. 23

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top