Hasan Hanafi dan Hermeneutika Dalam Study Tafsir (Tafsir Konteporer)



         Hasan Hanafi lahir di Kiaro pada tanggal 13 Februari 1935, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang hendak belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar tamat tahun 1948, kemudian Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha” Kairo selesai pada tahun 1952. Selama berada dibangku Tsanawiyah, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi al-Ikhwan al-Muslimun, dari kegiatannya inilah Hanafi berkembang, selain itu juga Hanafi juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthb tentang keadilan sosial dan keislaman.

Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai pada tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne Prancis, dengan mengambil konsentrasi pada kajian pemikiran Barat pra-modern dan modern. Hanafi menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966.

Karir akademiknya dimulai pada tahun 1967 ketika diangkat sebagai lektor, kemudian lektor kepala pada tahun 1973, kemudian profesor filsafat pada tahun 1980 di Jurusan Filsafat Universitas kairo. Selain itu Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Kuwait, Maroko dan Jepang. Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo, dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang pada tahun 1985-1987.

Disamping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiyah dan kemasyarakatan. Dia aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.           

Selama di Prancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar metode berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, belajar analisis kesadaran pada Pauk Ricouer, belajar bidang pembaharuan pada Massignon yang sekaligus bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasinya, serta belajar fenomenologi dari Husserl. Sampai saat ini, fenomenologi Husserl sangat kental mewarnai pemikiran Hanafi dalam membaca teks.

Hanafi merupakan pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.[2]

Di samping menguasai pemikiran Islam, Hassan Hanafi juga menguasai pemikiran Barat dengan baik. Menurutnya, dunia Islam kini sedang menghadapi dua ancaman besar baik secara internal maupun secara eksternal. Ancaman dari dalam Islam adalah berupa kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan. Sedangkan dari luar Islam yakni imperialisme, zionisme dan kapitalisme.

Kemunculan Hassan Hanafi pada dekade 1980 mendapat  perhatian luas dengan gerakan yang dipelopori dirinya, al Yasar al Islami (Kiri Islam). Lahirnya  Al Yasar Al Islami atau dikenal juga dengan At-turats wa at-tajdid (tradisi dan modernisasi)  merupakan proyek pembaharuan Hassan Hanafi yang bertopang pada tiga pilar utama.[3] Pertama, revitalisasi khasanah klasik Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Pada bagian terakhir ini, Hanafi mengusulkan al tafsir al syu'ur suatu metode tafsir di mana realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri.

            Hassan Hanafi memandang bahwa peradaban Islam merupakan upaya perjanjian wahyu secara metodologis dan intelektual bagi dunia dalam suatu periode sejarah dan sosiologi tertentu. Bagi Hanafi, persoalannya bukan terletak pada al Quran, melainkan bagaimana wahyu al Quran itu dapat dihadirkan secara interpretatif dan bagaimana struktur teortitis menyajikannya. hal itu tidak dimaksudkan oleh Hanafi bahwa penyajian wahyu yang telah berlangsung selama ini salah. Melainkan, hal itu dipandang sebagai satu pilihan di antara pilihan-pilihan yang lain sesuai dengan tuntunan  zaman.[4]

Dengan kata lain bisa dijeaskan bahwa Hanafi merumuskan proyek at-Turāts wa at-Tajdīd  berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan. Pertama, rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunā min al-qadīm)Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita terhadap Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang terakhir adalah, upaya membangun sebuah teori interpretasi Al-Qur’an yang membebaskan yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, yang memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan. Agenda ketiga ini mencerminkan ”sikap kita terhadap realitas” (mawqifunā minal-wāqī)


Hermeneutika dalam Studi Tafsir Al-quran
            Berbicara mengenai hermeneutika, yang dipahami oleh banyak orang yaitu sebagai sebentuk ilmu tafsir yang mendalam dan bercorak filososfis, dan apabila berbicara mengenai tafsir maka yang sering dipahami orang ialah kepada  satu variabel dalam agama yaitu kitab suci.[10]
Agama memang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tafsir, baik secara konseptual maupun secara historis. Secara konseptual, agama dapat dikatakan sebagai komunitas tafsir, sehingga kajian terhadap agama itu pada dasarnya adalah pemahaman terhadap tafsir. Sementara secara historis, agama mempresentasikan adanya keagamaan penafsiran manusia yang sangat erat kaitannya dengan latar belakang historis masing-masing pandangan, bahkan sering terjadi ketengangan dalam agama misalnya ketegangan antara kalangan yang berpola pikir  liberal dengan yang berpola pikir ortodok, dimana tentunya kedua kalangan ini memiliki pola penafsiran yang berbeda terhadap agama mereka masing-masing.
Salah satu dimensi yang paling dekat dari agama dengan hermeneutika adalah kitab suci, karena memang hermeneutika pada dasarnya muncul sebagai suatu metode untuk memahami kitab suci termasuk kitab suci ummat Islam yaitu Al-quran.
Term khusus yang digunakan dalam pengertian kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah “tafsir”, yang mana kata tersebut berasal dari bahasa Arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang mana kata tersebut digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang.
Istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam khususnya tafsir Al-quran klasik memang tidak ditemukan. Istilah hermeneutka tersebut baru populer ketika Islam berada pada masa kemunduran. Meski demikian menurut Farid Esack dalam bukunga Qurani Liberation and Pluralism, praktik hermeneutika sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-quran.[11] Hal tersebut dibuktikan dalam bukti sebagai berikut :
1.      Problematika Hermeneutika itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitif. Hal tersebut terbukti dari kajian-kajian mengenai asbabun nuzul dan nasakh-mansukh.
2.      Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap Alquran (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran yang telah ada sejak munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
3.      Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori. Misalnya tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu,maupun masalah-masalah social tertentu dalam tafsir.[12]
Meskipun demikian, operasionalisasi hermeneutika sevara utuh seringkali ditentang oleh umat Islam tradisional, karena hermeneutika ini setidaknya membawa tiga macam implikasi yang bertentangan dengan pendirian para ilmuwan muslim konvensional. Tiga mcam implikasi tersebut adalah :
1.      Hermeneutika membawa implikasi bahwasanya tanpa konteks, teks itu tidaj berharga dan bermakna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa makna yang sebenarnya itu adalah apa yang dimaksud oleh Allah.

2.     Hermeneutika member penekanan kepada manusia sebagai ‘perantara’ yang menghasilkan makna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa Tuhanlah sebenarnya yang menganugerahkan pemahaman yang benar terhadap seseorang.

3.      Sangat berbeda dengan tradisi hermeneutika, ilmuwan muslim tradisional telah membuat pembedaan yang tidak terjembatani antara teks Al-quran dan tafsir, serta penerimanya, teks Al-quran dianggap sangat saklar sehingga makna yang sebenarnya tidak mungkin bisa dicapai.[13]

Disamping berakibat ditentangnya pola penafsiran ala hermeneutika, pandangan-pandangan tradisisonal tersebut sampai tingkat tertentu juga menyebabkan munculnya rasa kurang percaya diri dan kurang berani dalam penafsiran. Hal tersebut dibuktikan misalnya dengan danya idiom wallahu a’lam dalam setiap akhir penafsiran, dengan maksud bahwa  penafsiran yang dilakukan itu sangat rentan dengan kesalahan, karena yang paling mampu memahami makna yang sebenarnya adalah Allah. Di satu sisi hal tersebut dapat dipandang sebagai rendah hati, tetapi di sisi lain, sikap semacam ini pada akhirnya akan membawa implikasi tidak sungguh-sungguh karena merasa tidak sempurna dan yang lebih ironis lagi adalah tidak berani member kepastian akan kebenaran makna yang dipahami, sementara sebagai sebuah pedoman, Al-quran harus jelas dan pasti maksud-maksud agar dapat dipahami dan dibawa ajarannya dalam kehidupan. Agaknya pendirian ini melupakan sabda Nabi yang menyatakan bahwa betapapun salah ijtihad itu, maka ia tetap mendapat pahala. Memahami dan menafsirkan Al-quran dapat dikatakan sebagai bentuk ijitiha.

Dewasa ini telah banyak pemerhati Al-quran yang melakukan kritik linguistik yang menjadi cirri khas hermeneutika. Tulisan-tulisan tersebut banyak sekali muncul baik dari kalangan orientalis maupun dari kalangan umat Islam itu sendiri. Di antara tulisan-tulisan tersebut yaitu ada karya Nasr Hamid Abu Zayd yang dengan insentif menggeluti kajian hermeneutik dalam tafsir klasik, Fazlurrahman dengan penafsiran double movement-nya, dam Mohammed Arkoun dengan lingkaran bahasa pemikiran sejarah-nya.

Hermeneutik sebagaimana telah dijelaskan merupakan satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa yang kemudian melangkah kepada analisa psikologis, historis, dan sosiologis. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks Al-quran, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaiamana teks Al-quran out hadir ditengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial.[14]

Sehubungan dnegan hal ini, maka perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsiran yang bercorak hermeneutik ini, termasuk penafsiran Al-quran yaitu :[15]

  • .      Para penafsir itu adalah manusia

Asumsi ini menyatakan bahwasanya seorang yang menafsirkan teks kitab suci itu tetaplah manusia biasa yang lengkap degan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan asumsi ini diharapkan bisa dimengerti bahwasanya manusia itu tidak akan bisa melepaskan diri dari ikatan historis kehidupan dan pengalamannya, dimana ikatan tersebut sedikit banyak akan memabwa pengaruh dan mewarnai corak penafsirannya. Asumsi ini juga dimkasudkan untuk tidak memberi vonis “mutlak” benar atau salah kepada suatu penafsiran, namun lebih mengarah untuk malakukan analisa kritis terhadap saru penafsiran.

Para penafsir adalah manusia yang membawa muatan-muatan kondisi kemanusiaan yang mereka alami. Artinya, setiap generasi musli sejak masa Nabi Muhammad, sambil membawa muatan tersebut, telah memroduksi komentar-kimentar mereka sendiri terhadap Al-quran. Maka tidaklah mengherankan jika akhirnya ada beragam interpretasi dari setiap generasi.

  •               Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi

Segala aktivitas penafsiran pada dasarnya merupakan satu partisispasi dalam proses historis-linguistik dan tradisi yang berlaku, dimana partisispasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Pergulatan ummat Islam dengan Al-quran juga berada dalam kurungan ini. Seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari bahasa, budaya dan tradisi dimana mereka hidup. 

Para pemikir reformis sering menyatakan bahwasanya krisis yang terjadi di dunia Islam serta ketidakmampuan ummat Islam untuk memberikan satu kontribusi yang berguna bagi dunia kontemporer adalah dikarenakan tradisi. Jalan keluar yang dianjurkan oleh para reformis itu seringkali adalah dengan meninggalkan ikatan tradisi dan kembali kepada Al-quran. Pernyataan tersebut sebenarnya tidak selaras dengan fakta bahwasanya satu penafsiran itu tidak bisa secara sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi pasti berkaitan dnegan muatan historisnya.

  •   .      Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri

Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuan Al-quran itu tampak dalam isi, tujuan dan bahasa yang dipakai Al-quran. Hal ini tampak pula misalnya dalam pembedaan ayat-ayat makiyyah dan ayat-ayat madaniyyah. Dalam hubungannya dengan proses pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi, serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya di sisi yang lain. Wahyu selalu menjadi komentar terhadao satu kondidi masyarakat tertentu.

            Patut diperhatikan bahwasanya Al-quran dalam perspektif hermeneutik ini lebih dipahami dalam dimensi relasional-nya dari pada sebagai satu fenomena atau kategori keagamaan yang absolute. Sebagaimana William A. Graham dalam tulisannya Approaches to Islam in religious Studies, Esack berpendapat bahwasanya pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwsanya kitab suci itu tidak hanya sekedar teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan, yakni berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat-masyarakat yang menganggapnay saklar dan normatif.

Metode Hermeneutika Hassan Hanafi dalam Studi Tafsir

Menurut Hasan Hanafi menyatakan bahwa mega proyek daripada Tradisi dan Modernisasi adalah upaya rekonstruksi peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbernya dalam wahyu, atau reinterpretasi wahyu itu sendiri, disamping pendasaran kepada realitas kontemporer dan tradisi klasik. Tujuan akhirnya adalah transformasi wahyu kedalam disiplin kemanusiaan yang komprehensif. Untuk kepentingan  tersebut, Hanafi merencanakan sebuah hermeneutika yang mencakup berbagai teori interpretasi, baik terhadap teks maupun terhadap realitas.[16]

Tafsir tidak lahir dalam kehampaan, melainkan terwujud di dalam waktu dan tempat tertentu, dalam suatu kesejarahan tertentu, sehingga menuntut umat Islam masa kini untuk merumuskan hermeneutika alquran yang sesuai dengan kemaslahatan umat, keperluan dan pesoalan yang dihapadi ummat Islam masa kini.          

Metodologi hermeneutika alquran yang digagas Hassan Hanafi berkaitan erat dengan metodologi fiqih klasik. Baginya, ia merupakan pengambilan kesimpulan hukum dan berhadapan dengan realitas baru. Demikian pula Hermeneutika alquran baru terkait dengan gerakan reformasi keagamaan, mendukungnya mengadakan reformulasi terhadapnya dan mengembangkannya.

Menurut Hanafi makna dihasilkan dalam konteks sosial dan politis dimana teks dihasilkan dan dibaca serta dipergunakan. Ketika teks dibaca dan diinterpretasikan kembali dari suatu generasi dan tempat kegenerasi dan tempat berikutnya, makna dihasilkan kembali oleh individu (fard) dan kelompok sosial (jamaah). Menurutnya lebih lanjut, ada tiga metode yang harus dikoordinasi oleh para penafsir Dunia ketiga, khususnya Muslim untuk mencapai pemahaman diri yang otentik di dunia modern. Pertama, Warisan intelektual dan kultural Barat (Turats al Gharb). Kedua, analisis atas warisan tradisional Islam. Ketiga, analisis atas pengalaman sosial manusia seperti tertuang dalam setiap dan semua teks warisan Barat dan Islam.[17]

            Hanafi menggunakan hermeneutika yang dikembangkan dan dipengaruhi oleh Hermeneutika kontemporer Barat sebagai metodologi untuk memahami al
quran. Meskipun demikian, menurutnya Hermeneutika bukan hanya berarti ilmu interpretasi, melainkan juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat prakteknya.

Hassan Hanafi berpendapat bahwa proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua. Sementara yang pertama adalah kritik sejarah, yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah. Menurutnya, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dialami secara historis asli. Di sinilah, hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam arti yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan kedaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Setelah mengetahui arti yang tepat dari teks kemudian memasuki langkah ketiga, proses menyadari arti ini dalam kehidupan manusia yang merupakan tujuan akhir wahyu Allah.

            Pemikiran Hanafi dalam bidang Hermeneutika mereformasi penafsiran tradisional yang hanya bertumpu pada teks dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri.[18]

            Menurut Hasan Hanafi teks itu kosong. Teks itu perlu disusun kembali seperti kesadaran yang kosong. Teks itu adalah isi yang di masa lampau perlu tanda sebuah pengeluaran arti dan pengalaman hidup saat inin yaitu teks yang dihasilkan di masa lampau dimasukkan isi yang terjadi di masa sekarang. Hermeneutik adalah sebuah prosedur waktu yang sama yaitu sebuah perubahan yang direalisasikan yang berlangsung terus-menerus dari dahulu hingga sekarang sampai yang akan datang. Kesimpulannya, teks itu formal. Teks memerlukan isi material yang datang dari pengalaman hidup di masa lampau hingga kini dan juga masa sekarang.[19]

            Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks atas kritiknya pada metode tafsir klasik. Hanafi juga memperluas cakupan hermeneutika, dari sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, menjadi ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan hingga tingkat dunia. Hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praktis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[20]

           Melihat berbagai kekurangan dan kelemahan didalam tafsir klasik, Hanafi menawarkan teori penafsiran yang baru dalam menafsirkan Alquran yang ia rumuskan melalui pendekatan sosial, Hanafi menyebut teori penafsiran ini dengan ”hermeneutika sosial” (al-manhaj al-ijtimā’ī fī at-tafsīr) atau lebih tepatnya metode tafsir tematik (at-tafsīr al-mauḍū’ī).  

      Dengan hermeneutika Alquran seperti ini, menurut hanafi, seorang mufassir yang ingin mendekati makna Alquran tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks. Bukan sekedar menjelaskan, tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui, tapi sekaligus menyadari. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata. Karena tafsir tematis berusaha menemukan identitas sejati antara wahyu, kesadaran dan alam.

                Menafsirkan dalam pandangan Hanafi berarti mencari sesuatu, fokus dari objek. menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara bahasa teks. Menafsirkan menurut Hanafi, serupa dengan menulis teks baru, mengungkap isi terdalam dari teks yang berhubungan dengan kesadaran yang paling dalam.

                Berhubungan dengan metodologi hermeneutika sosial yang dibangun ini, Hanafi meletakan premis-premis dan landasan filosofis dalam mencari makna dari teks Alquran. Premis-premis itu adalah:

Pertama, wahyu diletakan dalam ”tanda kurung” (epoche).  tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Alquran yang banyak diperdebatkan oleh kalangan orientalis, bahkan sebagian cendikiawan muslim kontemporer seperti Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun,  apakah ia dari Tuhan atau dari pandangan Muhammad Saw. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu. Menurut Hanafi, dalam tahap interpretasi pertanyaan tentang asal-usul teks tidak lagi relevan, karena teks adalah teks, tidak ada permasalahan apakah ia bersifat Ilahiah atau manusiawi, sakral atau profan, elegius atau sekular. Pertanyaan tentang asal-usul teks merupakan permasalahan kejadian teks, sedangkan penafsiran berkaitan dengan isi teks tersebut. 

Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama. Baik itu yang sakral atau profan, termasuk Al-ur’an.Al-Qur’an menurut Hanafi, hanyalah merupakan transfigurasi bahasa manusia, sebagaimana halnya juga hadits Nabi.

Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi. Konflik interpretasi mencerminkkan pertentangan kepentingan, dalam interpretasi yang bersifat linguistik bahasa selalu berubah-ubah.  Kesamaan antara makna teks yang sedang dijelaskan dengan makna penafsiran terhadap teks hanyalah preposisi formal yang sifatnya hipotesis berdasarkan pada hukum keserupaan. Menurut Hanafi, kesenjangan waktu yang lebih dari 14 abad yang menyebabkan teori keserupaan teks dan penafsiran jadi mustahil.

Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.

Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis. Teori sebenarnya hanyalah merupakan kedok epistemologis. Setiap penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir. Penafsiran menurut Hanafi, merupakan senjata ideologis yang banyak digunakan oleh kekuatan sosio-politik, baik dalam rangka mempertahankan keuasaan atau merubahnya.[21]

                Dari lima premis diatas, Hanafi bertujuan untuk menghindarkan dari penafsiran yang bertele-tele, maka dari itu Hanafi merumuskan beberapa karakteristik dalam penafsiran Al-Qur'an.
Pertama, Harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (at-tafsir al-juz'i) yaitu menafsirkan ayat-ayat tertentu Al-Qur'an bukannya menafsirkan seluruh ayat-ayat Al-Qur'an.

Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir al-maudhu'i) karena hanya menafsirkan tema-tema tertentu yang dibutuhkan.

Ketiga, bersifat temporal, (at-tafsir az-zamani).  Penafsiran tidak diarahkan kepada pencarian makna universal, melainkan diarahkan untuk menelusuri makna sesuai yang diinginkan Al-Qur'an untuk generasi tertentu. Tafsir semacam ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa yang akan datang, melainkan dikaitkan dengan realitas kontemporer dimana ia muncul.

Keempat,  berkarakter realistik (at-tafsir al-waqi'i). Yaitu memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanyakrisis dank kesengsaraan yang mereka hadapi.

Kelima, berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan teoritik tentang huruf dan kata. Karena menurut Hanafi, wahyu pada dasarnya memiliki tujuan, orientasi dan kepentingan. Yaitu kepentingan masyarakat dan hal-hal yang menurut akal bersifat manusiwi, rasional dan natural.

Keenam, bersifat experimental, karena ia merupakan tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.

Ketujuh, perhatian terhadap problem kontemporer. Bagi Hanafi, Mufassir tidak dapat memulai penafsirannya tanpa didahului oleh perhatian dan penelitian yang mendalam atas masalah-masalah kehidupan.

Terakhir, posisi sosial mufassir ditentukan secara sosial sekaligus menentukan corak penafsiran yang dilakukannya. Penafsiran merupakan bagian dari struktur sosial, baik itu bagian dari golongan atas, menengah atau bawah.

                Setelah meletakan berbagai premis dan karakteristik penafsiran, kemudian Hanafi merumuskan beberapa aturan metodis untuk mendukung hermeneutika Al-Qur'an yang ia bangun. Aturan-aturan ini berfungsi sebagai petunjuk teknis ketika menafsirkan Al-Qur'an.

Pertama: merumuskan komitmen sosial politik. Mufassir bukanlah seorang yang netral, sebab ia berada dalam drama negeri tertentu dan dalam krisis dalam masanya. Ia terobsesi pada perubahan sosial. Tidak ada mufassir tanpa komitmen tertentu, sebab hilangnya komitmen berarti tidak memiliki komitmen apa-apa.

Kedua, mencari sesuatu. Seorang mufassir  tidak memulai penafsiran dengan tangan kosong atau tanpa mengetahui apa yang ingin ia ketahui terlebih dahulu. Menurut Hanafi, kesadaran adalah kepentingan itu sendiri. Sementara hikmah yang dikandung asbab an-nuzul merupakan gambaran dari prioritas realitas atas teks.

Ketiga, seorang mufassir berusaha mensinopsis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu. Setiap ayat yang berhubungan satu sama lain dalam tema-tema tertentu dikumpulkan, kemudian dibaca dan dipahami berulang-ulang secara seksama dan simultan sehingga orientasi umum dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan.

Keempat, klasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Bagi Hanafi, bahasa merupakan bentuk pemikiran yang membawa mufassir kedalam makna.

Kelima, membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistik memberi orientasi makna, mufassir berusaha membangun suatu strukturberangkat dari suatu makna menuju suatu objek. Makna dan objek adalah sisi koin yang sama. Keduanya adalah kolerasi yang sama dalam keasadaran.

Keenam, analisis situasi faktual. Setelah membangun suatu tema sebagai struktur ideal, mufassir  menggabungkandan menghubungkannya dengan situasi nyata, untuk mengetahui status kuantitatif masalah. Menurut Hanafi, diagnosa sosial adalah cara lain untuk memahami makna sebagai dinamika teks dalam dunia nyata.

Ketujuh,  membandingkan yang ideal dengan yang riil. setelah proses membangun struktur memberikan tema kualitatif dan analisis fakta sosial memberi status kuantitatif sebagai fenomena sosio-historis, mufassir membandingkan  struktur ideal yang dideduksi dari analisis isi teks dan situasi faktual yang diinduksi olek statistik dalam ilmu-ilmu sosial.

Terakhir, deskripsi model-model aksi. Apabila ditemukan adanya kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merupakan langkah berikutnya dari proses interpretasi. Mufassir mentransformasikan diri dari teks ke aksi, dari teori ke praktek dan dari pemahaman ke perubahan.[22]



[2] Ahmad Khudori Sholeh. Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika Humanistik. (Yogyakarta: Jendela. 2003). h. 65
[3] Ahmad  Khudori Sholeh. Pemikiran…, h.66
                       [4]Ahmad Khudori Sholeh. Pemikiran…, h.66-67      
[5] Fakhruddin Faiz. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. (Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2002). h.20
[6] Fakhruddin Faiz. Hermeneutika…,21
[7]Hasan Hanafi. Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), h.135.
[8]Hasan Hanafi. Bongkar…., h.131.
[9] Fakhruddin Faiz. Hermeneutika…, h. 21-22
[10] Fakhruddin Faiz. Hermeneutika…, h. 41

[11]Fakhruddin Faiz. Hermeneutika…, h. 42
[12] Fakhruddin Faiz. Hermeneutika…, h. 42-43
[13] Fakhruddin Faiz. Hermeneutika…, h. 43
[14] Fakhruddin Faiz. Hermeneutika…, h. 47
[15] Fakhruddin Faiz. Hermeneutika…, h. 27-49
[16]Abdul Mustaqim  dan Sahiron Syamsuddin. Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002). h. 103
[17]Ilham Saenong. Hermeneutika Pembebeasan: Metodologi Tafsir Al-Qur;an Menurut Hasan Hanafi. (Jakarta: Teraju. 2002). h.58
[18] Abdul Mustaqim  dan Sahiron Syamsuddin. Studi…, h. 105
[19]Hasan Hanafi. Bongkar…., h.137.
[20]Hasan Hanafi. Bongkar…., h.131.
[21] Ahmad Khudori Sholeh. Pemikiran…, h. 85-89
[22] Ahmad Khudori Sholeh. Pemikiran…, h. 90-94

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top